Selasa, 11 Desember 2007

HIDUP TERLALU BERARTI UNTUK DISIA-SIAKAN

Hidup bukanlah sebuah petualangan yang tak ada artinya.
Bukan pula sebuah pertaruhan yang konyol.
Jangan pernah pertaruhkan hidupmu untuk sesuatu yang sia-sia.
Karena hidup begitu berarti.
Karena hidup terlalu berharga untuk Disia-siakan begitu saja...
Sebutir telur ayam yang telah dierami induknya beberapa lama kemudian akan menetas menjadi seekor anak ayam yang segera memulai kehidupannya di dunia. Sebuah kehidupan baru bermula lagi dan semua ini telah menjadi bagian dari episode demi episode kehidupan setiap makhluk ciptaan Tuhan diatas muka bumi ini. Begitu tangisan seorang bayi manusia terdengar melengking saat keluar dari rahim ibunya, maka saat itu juga dimulailah episode kehidupan seorang anak manusia di dunia.
Fantastis! Mungkin itulah kata yang paling tepat untuk melukiskan betapa luar biasanya Tuhan menciptakan kita. Bayangkan saja, dari sebuah embrio yang hanya berbentuk sebesar biji kacang hijau, kemudian menjadi seorang anak manusia yang memiliki mata, hidung, mulut, telinga, tangan, kaki dan anggota tubuh lainnya.
Sungguh, membayangkan saja kita mungkin akan spontan meneteskan air mata keharuan mengingat betapa besar kasih Tuhan yang telah membuat kita ada di dunia ini. Terlahir menjadi seorang manusia yang punya begitu banyak kesempatan untuk berbuat demikian membalas segala rahmat kasih-Nya kepada kita. Berpikir sampai disini, masih adakah terbersit niat kita untuk menyia-nyiakan hidup kita apalagi mengakhiri hidup kita dengan cara kita sendiri, ketika kita merasa segala sesuatunya berjalan tidak mulus seperti yang kita inginkan?
Kita lihat banyak kehidupan yang tidak jadi, bagaikan bunga yang layu sebelum berkembang. Banyak bayi yang bahkan harus meregang nyawa di dalam kandungan ibunya, tanpa pernah bisa terlahir ke dunia. Banyak pula kisah tragis kehidupan anak manusia yang begitu memilukan. Mungkin hidup yang kita miliki tidaklah sesempurna apa yang kita bayangkan, impikan dan harapkan. Tetapi setidaknya mungkin itu jauh lebih baik dari mereka-mereka yang bernasib lebih malang dari kita. Mereka yang tak punya rumah, mereka yang cacat, atau mereka yang bernasibnya selalu apes dan seterusnya. Lalu mengapa kita tidak mencoba belajar mencintai hidup kita dan mensyukuri hidup pemberian Tuhan kepada kita ini, dengan menghargai apapun yang kita miliki?.
Angka bunuh diri yang semakin meningkat dari hari ke hari belakangan ini menunjukkan kepada kita betapa banyak anak manusia yang tidak mencintai hidupnya sendiri. Kenyataan bahwa banyak diantara kita yang rela menghancurkan hidupnya sendiri. Kenyataan bahwa banyak diantara kita yang rela menghancurkan hidupnya dengan obat-obatan terlarang, hidup tidak semestinya dan segudang perbuatan yang melanggar Nurani lainnya, telah membuktikan betapa kita tidak benar-benar mencintai hidup yang telah dianugerahkan Tuhan.
Betapa kita begitu sering meracuni hidup dengan kebencian, dendam, ketidak-puasan dan sakit hati. Tidak jarang kita suka membiusi hidup dengan keserakahan yang tak habis-habisnya dan keangkuhan yang diluar batas. Betapa kita telah menyesatkan hidup dengan kebodohan dan keegoisan. Saling berebut dan berselisih, mau menang sendiri dan mengorbankan orang lain, dengki, iri hati, dendam dan sakit hati.
Rasanya semua yang tidak baik sudah menjadi langganan kita dan sudah pernah kita lakukan. Hanya satu yang mungkin belum benar-benar kita lakukan, yaitu mencintai hidup kita dengan perbuatan yang berakhlak dan ber-Nurani.
"Daripada tersiksa begini terus, lebih baik mati Saja!" Perkataan seperti ini sudah terlalu sering kita dengar bahkan mungkin kita sendiri pernah berpikiran demikian. Ketika hidup tidak sesuai dengan impian atau harapan kita, ketika cobaan bertubi-tubi datang menghampiri kehidupan kita. Mungkin jalan pintas seperti ini akan menjadi pilihan karena merasa sudah tak sanggup menahan cobaan hidup yang kelihatannya begitu berat. Rasanya kita memang terlalu gampang memvonis mati diri kita sendiri. Padahal kita lupa ada yang lebih berkuasa daripada kita, yaitu Tuhan yang telah memberi hidup dan kehidupan kepada kita.
Kalaulah kenyataan begitu pahit, mungkin amnesia akan lebih baik. Bukankah terkadang kita suka juga berpikiran seperti itu? Berharap lebih baik lupa dan hilang ingatan saja selamanya daru pada harus tersiksa dan menderita lantaran terperangkap oleh trauma dan kesakitan masa lalu? Mengapa kita justru lebih suka mengorek segala kenangan dan luka lama? Membiarkan penderitaan terus melilit hidup kita tanpa kuasa mengakhirinya? Mengapa kita harus merusak hidup anugerah terindah Tuhan kepada kita?
Selama ini mungkin kita sudah terlalu sering menyiksa diri kita sendiri. Kita terlalu memaksakan kehendak kita kepada siapa saja bahkan kepada hidup kita sendiri. Kita tidak pernah mau menyadari betapa kita sudah memiliki hidup yang demikian baik dan indah. Kita terus merusak dan menyia-nyiakan hidup dengan mencari dan terus mencari celah kekurangan yang ada sehingga kita merasa hidup kita begitu malang dan buruk. Mungkin sudah terlalu sering kita menyiksa diri sendiri dan merusak hidup ini.
Ketika kita mulai egois dan tak mau mempedulikan perasaan orang lain. Ketika kita mulai menyakiti sesama karena kita merasa tidak bahagia dan tidak puas. Ketika kita mengisi hidup kita dengan segudang keluh-kesah, penyesalan dan tuntutan. Rasanya sudah cukup kita menyiksa diri selama ini.
Hidup yang seharusnya bisa dilalui dengan indah dan berharga menjadi tidak berarti apa-apa ketika kita mulai bersitegang mempertahankan keakuan dan kesesatan. Pada akhirnya kita jadi menelantarkan hidup dan menyia-nyiakan hidup yang begitu berharga ini.
Mungkin kita akan selalu berpikiran, apa hidup masih ada artinya ketika apa yang kita lakukan sama sekali tidak ada artinya lagi? Apa kita masih pantas hidup ketika tak seorang pun mau peduli pada keinginan kita yang sederhana dan kecil ini? Kita kita merasa tak seorang pun memahami kita. Ketika kita merasa tak ada lagi yang mau mempedulikan dan mengabulkan harapan kita. Kekita kita merasa telah dipermainkan oleh hidup. Begitu kita berpikiran seperti itu, sebetulnya saat itu juga kita sudah mulai tidak mencintai hidup.
Harus diakui bahwa selama ini kita telah begitu mudahnya menjatuhkan vonis mati untuk diri sendiri. Betapa mudahnya kita mempermainkan nyawa sendiri. Betapa ringan dan santainya kita berkata akan menghancurkan hidup kita bahkan mencabut nyawa sendiri, ketika segala sesuatunya tidak berjalan sesuai harapan. Ketika kita merasa dipermainkan oleh nasib dan keadaan, atau oleh orang-orang disekitar kita. Ketika penderitaan dan ketidak-lancaran selalu datang ke dalam hidup kita. Ketika merasa apa yang kita inginkan tak pernah diperhatikan dan permintaan kita tak sekalipun dipenuhi.
Lalu dengan seenaknya kita akan mengancam orang-orang disekitar kita. Bahwa lebih baik kita mati saja ketimbang hidup begini terus. Atau sengaja menghancurkan hidup kita demi sebuah aksi "demonstrasi" kepada orang-orang yang mengasihi kita. Biar mereka ikut tersiksa dan menderita seperti kita. Biar tuntutan dan keinginan kita segera dipenuhi mereka.
Padahal kita tidak menyadari ketika kita berbuat hal-hal konyol seperti itu, sebetulnya yang paling dirugikan adalah diri kita sendiri. Dan yang paling menderita dan tersiksa tentu saja Tuhan yang telah menciptakan kita. Karena Tuhan terlalu bersedih melihat kita yang telah menyia-nyiakan hidup yang dianugerahkan-Nya kepada kita.
Banyak masalah yang sebetulnya tak perlu ada tetapi justru kita yang mengadakannya sendiri. Banyak penderitaan yang mungkin tak perlu kita alami tetapi justru kita yang mencarinya sendiri. Betapa sering kita menelantarkan hidup, kebahagiaan, masa depan dan mengorbankan segala yang telah kita miliki hanya karena tak mampu mencintai, mensyukuri dan menghargai hidup pemberian Tuhan.
Kalaulah hidup begitu mudah dan simpel mengapa harus dibikin rumit? Enjoy aja! Nikmati saja apapun yang kita miliki dengan penuh rasa syukur. Niscaya hidup akan semakin indah dijalani dan kitapun akan semakin mencintai hidup kita.
Bagaimanapun hidup menawarkan banyak pilihan. Masalahnya bagaimana kita menjatuhkan pilihan kita saja. Mau hidup bahagia atau menderita, sebetulnya lebih ditentukan oleh pilihan kita sendiri. Kalau kita memilih untuk bahagia maka kita akan berbahagia sekarang juga. Sebaliknya kalau kita memilih untuk menderita maka didalam kepenuhan sekalipun kita tetap akan merasa kekurangan dan tidak bahagia.
Dualisme dunia yang ada sisi baik dan buruknya haruslah kita hadapi dengan arif dan penuh rasa syukur. Bisa selalu mengambil sisi baik dan berdiri pada posisi baiknya maka hidup tak akan serumit yang kita bayangkan.
Jadi, sayangilah hidup kita! Berhentilah menyiksa diri sendiri! Berhentilah menghancurkan hidup dengan segala perbuatan yang melanggar Hati Nurani. Karena semua itu sungguh tidak setimpal dengan nilai hidup sebenar yang terlalu berharga ini.
Dengan belajar mencintai hidup yang telah dianugerahkan Tuhan kepada kita tentu saja akan lebih baik ketimbang terus menyesali hidup dan tidak berupaya memaknai hidup dengan sebaik-baiknya.
Ketika kita tidak mencoba belajar mencintai hidup kita, sebetulnya saat itu juga kita telah gagal mensyukuri hidup yang telah dikaruniakan Tuhan kepada kita. Tegasnya kitapun telah gagal mencintai Tuhan dengan semestinya.

Betapa tipisnya jarak antara kehidupan dan kematian...

Berpikir sampai di sini, masih pantaskah kita menyia-nyiakan hidup?

Masih pantaskah tidak mencoba belajar mencintai hidup kita?

Tidak ada komentar: